Menillik Dugaan Pidana Hutang Pilkada Anies Baswedan dan Menanti Respon KPU-Bawaslu
Untuk itu sebaiknya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Pusat harus segera bersikap. Seban Permasalahan tertib aturan dan pengawasan dana Pilkada bisa dijadikan penilaian untuk menguji kredibilitas KPU dan Bawaslu. Dengan demikian, KPU dan Bawaslu Pusat sebaiknya dapat segera merespon masalah ini.
Oleh : Sugiyanto ( SGY)
Aktivis Jakarta
Belum lama ini publik digegerkan dengan pengakuan Anies Baswedan tentang hutang dana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta tahun 2017. Pengakuan hutang ini diucapkan Anies ketika menjawab pertanyaan Merry Riana soal hutang 50 miliar pada acara Podcast yang tayang di channel Youtube Merry Riana, Jumat (10-2-23).
Menurut Anies, sebenarya hutang tersebut bukan pinjaman, melainkan dukungan. Dan pemberi dukungan meminta dicatat sebagai hutang. Bila berhasil menang Pilkada maka itu dicatat sebagai dukungan, namun bila kalah dalam pilkada maka menjadi hutang Anies dan Sandi yang harus dikembalikan.
Anies juga mengatakan yang menjamin hutang atau dukungan tersebut adalah Pak Sandi. Dan Anies menegaskan bahwa uangnya (uang hutang) bukan dari Pak Sandi, tetapi dari pihak ketiga. Anies juga menjelaskan surat pernyataan hutangnya itu ada, dan dia sendiri yang menandatanganinya. Selain itu, menurut Anies, hutang tersebut telah lunas karena pasangan Anies-Sandi berhasil menang Pilkada. Anies juga mengatakan, hutang Pilkada lunas bila menang pilkada merupakan sebuah mindset baru.
Terkait hal tersebut, Saya menganggap apapun alasan Anies Baswedan baik tentang mindset baru (Pinjaman Huttang Pilkada Puluhan Miliar Lunas Jika Menang Pilkada) dan tentang pengakuan hutangnya, tetap tidak dapat dibenarkan. Hal ini jelas menyalahi aturan Pilkada. Disamping itu, hal ini bisa menjadi preseden buruk dalam dunia demokrasi Pilkada di tanah air.
Untuk itu sebaiknya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Pusat harus segera bersikap. Seban Permasalahan tertib aturan dan pengawasan dana Pilkada bisa dijadikan penilaian untuk menguji kredibilitas KPU dan Bawaslu. Dengan demikian, KPU dan Bawaslu Pusat sebaiknya dapat segera merespon masalah ini.
Masalah pengakuan hutang Pilkada tersebut juga bisa menjadi masalah bagi Anies Baswedan. Hal ini bisa memunculkan opini negatif termasuk pandangan dugaan pidana bagi Anies Baswedan. Terkait hal ini Saya memcoba melihat dan menilik dari sisi duggaan pidana tersebut dalam konteks pidana Pilkada dan Pembohongan Publik.
Tentang duggan pidana semakin kuat karena hal-hal yang dikatakan Anies Baswedan saat Podcast isinya sama dengan uraiam surat pengakuan hutang Anies Baswedan yang beredar di Media Sosial (Medsos). Dalam surat itu diketahui hutang Anies Baswedan Rp 92 miliar. Hutang ini terdiri dari hutang Pertama (I) Rp 20 miliar, kedua (II) Rp 30 miliar dan hutang ketiga (III) 42 miliar. Terdapat juga klausul, hutang (I), (II) dan (III) akan lunas bila pasangan Anies-Sandi menang Pilkada. Ketentuan ini secara substansi sama seperti apa yang dikatakan Anies Baswedan saat menjawab pertanyaan Merry Riana.
Dugaan Pidana Pilkada
Dalam UU Pilkada mengatur tentang dana kampanye. Aturan dana kampanye Pilkada tersebut merujuk pada UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Menjadi Undang-Undang, jo UU No. 8 Tahun 2015. Selain itu, juga merujuk pada aturan PKPU No. 13 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 8 Tahun 2015 Tentang Dana Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
Dalam aturan dana kampanye tersebut menjelaskan yaitu, dana kampanye berasal dari sumbangan partai politik atau gabungan partai politik yang mengusung pasangan calon, sumbangan pasangan, dan atau sumbangan pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan perorangan dan/atau badan hukum swasta.
Selain itu aturan dana kampanye juga mengatur besaran sumbangan. Untuk sumbangan dana kampanye dari partai politik atau gabungan partai politik nilainya paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluhjuta rupiah) setiap Partai Politik selama masa kampanye. Sumbangan dana kampanye yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan nilainya paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) selama masa kampanye.
Dan dana kampanye yang berasal dari sumbangan dari pihak lain kelompok atau badan hukum swasta nilainya paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) selama masa Kampanye.
Dalan aturan tersebut juga mengatur tentang pasangan calon partai politik atau gabungan partai politik yang mengusulkan pasangan calon, menerima sumbangan melebihi ketentuan aturan. Untuk ketentuannya mengatur tentang larangan yakni, dilarang menggunakan dana dimaksud, dan wajib melaporkan kepada KPU (Provinsi/Kabupaten/Kota) dan menyerahkan sumbangan tersebut ke kas Negara paling lambat 14 (empat belas) hari setelah masa Kampanye berakhir.
Tentang hutang dana kampannye pun diatur. Dalam aturan tersebut menjelaskan, hutang atau pinjaman partai politik atau gabungan
partai politik dan/atau pasangan calon yang timbul dari penggunaan uang atau barang dan jasa dari pihak lain diberlakukan ketentuan sumbangan yang batasan dan pengaturannya berpedoman pada PKPU No 13 Tahun 2016 tersebut diatas. Artinya, aturan besaran hutang atau pinjaman dana kampaye dari partai politik atau gabungan partai politik paling banyak 750 juta, dari pihak lain perorangan 75 juta dan dari badan hukum swasta paling banyak 750 juta.
Ketentuan tentang pidana dana kampanye diatur dalam UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemeritah Penganti Undang- Undang No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Pada Pasal 187 ayat (7) disebutkan, “Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam laporan dana Kampanye sebagaimana diwajibkan oleh Undang-Undang ini, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).”
Dan pada Pasal 187 ayat (8) disebutkan “Calon yang menerima sumbangan dana Kampanye dan tidak melaporkan kepada KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan/atau tidak menyetorkan ke kas negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 48 (empat puluh delapan) bulan dan denda sebanyak 3 (tiga) kali dari jumlah sumbangan yang diterima.” Selain itu masih banyak lagi aturan tentang pidana dalam UU Pilkada tersebut.
Terkait tentang aturan dana kampanye tersebut, mari kita tengok laporan dana kampaye pasangan Anies-Sandi pada KPUD Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan data dari berbagai sumber, diketahui pada Pilkada putaran pertama pasangan Anies Sandi melaporkan biaya kampanye yang diperoleh berkisar senilai Rp 65,3 miliar.
Sebagian besar dana sumbangan dari pribadi Sandiaga Uno, yakni Rp 62,8 miliar. Sumbangan parpol Rp 1,1 miliar dan sumbangan badan hukum swasta Rp 900 juta. Sedangkan dana sumbangan dari Anies Baswedan tercatat senilai Rp 400 juta. Total dana kampanye yang terpakai mencapai 97 persen atau Rp 64,4 miliar.
Sedangkan untuk dana kampanye Anies-Sandi, dalam pilkada putaran kedua terkumpul berkisar 18 miliar. Sandiaga Uno sebagai penyumbang terbesar, yaitu 89 persen atau sekitar Rp 16 miliar. Kemudian diikuti oleh badan hukum swasta 8 persen atau sekitar Rp 1,5 miliar dan saldo awal sekitar Rp 553 juta. Sehingga total dana kampanye putaran kedua Anies-Sandi Rp 18 miliar. Dari dana itu, Rp 17,9 miliar habis digunakan untuk kampanye. Data angka sumbangan yang lebih akurat bisa dilihat pada KPUD DKI Jakarta.
Dari data tersebut menjelaskan peroleh sumbangan dana kampanye Anies-Sandi selama Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah berkisar senilai Rp. 83,3 miliar (Rp 65,3 miliar + 18 miliar). Dengan demikian, bila merujuk pernyataan Anies Baswedan dan surat pengakuan hutang yang tersebar di Medsos, maka laporan dana kampanye Anies-Sandi pada Pilkada DKI 2017 tersebut diduga bermasalah.
Dalam laporan dana kampanye, nama Anies Baswedan tercatat hanya menyumbang Rp 400 juta, Sedangkan dalam surat pengakukan hutang tersebut tertulis, hutang Anies Baswedan senilai Rp 92 miliar. Hal ini jelas menjadi tidak sesuai.
Persoalan data dana Pilkada yang tidak sinkron tentu bisa menjadi pertanyaan besar. Total dana kampanye Anies-Sandi yang terkumpul selama Pilkada 2017 saja hanya berkisar senilai Rp 83,3 miliar. Sedangkan dalam surat penyataan hutang yang tersebar di Medsos, tercatat hutang Anies Rp 92 miliar. Dalam rumus akutansi, harta adalah modal ditambah dengan hutang. Sehingga hutang Anies Baswedan berapapun besarnya merupakan harta Anies Baswedan.
Oleh karena itu, bila benar Anies Baswedan mempunyai hutang Rp 92 miliar saat Pilkada DKI 2017, maka dana ini adalah harta Anies Baswedan. Kemudian bila hutang Rp 92 miliar adalah harta Anies Baswedan, maka seharusnya Anies Baswedan melaporkan harta sumbangan itu sebagai biaya Pilkada pribadinya.
Dengan demikian maka patut diduga ada dana kampanye yang tidak dilaporkan oleh Anies Baswedan. Artinya patut diduga Anies Baswdan telah menyampaikan laporan sumbangan dana kampaye fiktif, yakni sumbangan Anies Baswedan didugga seharusnya bukan 400 juta.
Kondisi ini bisa menjadi semakin runyam bila merujuk peryataan Anies Baswedan yaitu, hutang tersbut adalah dukungan bukan pinjaman. Artinya dukungan berupa dana untuk kampanye itu harus dicatat dan dilaporkan pada KPUD Provinsi DKI Jakarta.
Bila dukungan dana yang diperoleh tidak dilaporkan sebagai sumbangan dana kampaye, maka calon yang menerima dana sumbangan bisa dianggap melanggar pasal 187 ayat (8) UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Pilkada yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 48 (empat puluh delapan) bulan dan denda sebanyak 3 (tiga) kali dari jumlah sumbangan yang diterima.
Duggan Pembohongan Publik.
Selain persoalan dugaan pidana Pilkada, pengakuan hutang Anies Baswedan juga bisa merembet ke hal-hal lain termasuk duggan pembohongan publik. Pernyataan Anies Baswedan yang menegaskan pinjaman atau dukungan dari pihak ketiga yang uangnya bukan dari Pak Sandi (Sadiaga Salahuddin Uno) bisa memunculkan masalah baru. Atas hal ini dapat terbentuk opini dimasyarakat bahwa sumbangan Sandi yang dilaporkan ke KPUD Provinsi DKI Jakarta baik keselurahan yakni Rp 78,8 miliar (Rp 62,8 miliar + 16 miliar) atau sebahagiannya bukan dana pribadi Sandiaga Uno.
Padahal jelas berdasarkan data yang ada baik dipemberitaan media dan lainnya, diketahui pada putaran pertama Pilkada DKIJakarta tahun 2017 lalu, Sandiaga uno menyumbang dana pribadinya berkisar Rp 62,8 miliar. Dan pada putaran kedua dana sumbangan Sandi berkisar Rp 16 miliar. Sehingga total sumbangan dana pribadi Sandiaga Uno pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 mencapai berkisar senilai Rp 78,8 miliar. Laporan sumbangan Sandiaga Uno ini valid alias A-1 dan dapat dilihat pada pemberitaan media. Tentang jumlah total angka sumbangan yang lebih tepatnya bisa dilihat pada KPUD Provinsi DKI Jakarta.
Dengan demikian Anies Baswedan seharusnya mengklarifikasi apakah sumbangan Sandi selama Pilkada 2017 berkisar senilai Rp 78,8 miliar itu adalah hanya berasal dari uang pribadi Sandi atau ada juga dana dukungan dari pihak ketiga. Tetapi klarifikasi tak bisa diwakilkan atau disampaikan oleh orang lain kecuali oleh Anies Baswedan sendiri. Apabila Anies Baswedan tidak mayampaikan klarifikasi maka masyarakat dapat mendugga laporan dana kampanye Anies-Sandi pada Pilkada 2017 rancuh.
Namun klarifikadi soal pinjaman atau dukungan atas sumbangan dana kampanye Anies-Sandi juga bisa menjadi buah simalakama. Artinya, klarifikasi bisa menimbulkan masalah baru. Anies Baswedan juga akan mengalami kesulitas untuk mengklarifikasi karena berdasarkan fakta, sumbangan pribadi Sandiaga Uno mencapai puluhan miliar. Sumbangan dana kampanye Sandi ini diketahui publik dan tercatat di KPUD Provinsi DKI Jakarta berkisar senilai Rp 78,8 miliar (Rp 62,3 miliar + 16 miliar). Olehkarenanya boleh jadi pengakuan hutang Anies Baswedan tersebut bisa menjadi bumerang yaitu berupa dugaan pembohongan publik.
Adapun tentang pembohongan publik dalam hukum Indonesia diketahui juga merupakan perbuatan pidana. Terkait hal tersebut, ada banyak aturan delik pidana yang berkaitan dengan kebohongan. Terkait masalah dugaan kebohongan, Saya coba merujuk pada empat aturan delik pidana kebohongan publik.
Aturan delik pidana pertama yaitu Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (UU No. 1/1946). Aturan ini berbunyi, “Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun. “
Aturan delik kedua yakni, Pasal 14 ayat (2) UU No. 1/1946. Aturan ini menjelaskan, “Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.“
Dan aturan delik ketiga yaitu, Pasal 15 UU No. 1/1946. Aturan ini menegaskan, “Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya dua tahun.”
Kemudian aturan delik keempat yaitu, Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 45 ayat (2) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagaimana yang telah dirubah melalui UU No. 19 tahun 2016 tentang Perubaham Atas UU ITE No 11 Tahun 2008. Aturan ini menyebutkan, “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Sebagai penutup, Saya menilai permasalah pengakuan hutang Anies Baswedan ini adalah persoalan besar karena terkait dengan Pilkada. Pilkada sendiri adalah proses demokrasi untuk memilih pemimpin daerah, sehingga semua persoalan harus dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk itu, sebaiknya masalah ini harus segera direspon oleh KPU dan Bawaslu Pusat. Hal ini penting untuk menjamin kepastian hukum terkait aturan dana kampaye Pilkada termasuk aturan tentang pidana Pilkadanya. Selain itu, hal ini juga baik untuk menyempurnakan aturan dan pengawasan tentang dana kampanye Pilkada. Dalam hal ini, respon lebih cepat seharusnya dilakukan oleh KPUD dan Bawaslu Provinsi DKI Jakarta. Dari persoalan ini, sepertinya kredibilitas KPU dan Bawaslu juga sedang diuji.
Oleh karena itu, KPUD dan Bawaslu Provinsi DKI Jakarta dapat segera meminta penjelasan langsung dari Anies Baswedan tentang pengakuan hutang Pilkada 2017 termasuk mendalami duggan pidana Pilkada. Dalam hal ini, apabila KPUD dan Bawaslu Provinsi DKI Jakarta menganggap persoalan tentang duggan pidana tersebut terbukti, maka dapat segera melaporkan pada pihak penegak hukum. Namun sebaliknya bila tidak terbukti, KPUD dan Bawaslu Provinsi DKI Jakarta juga bisa segera menjelaskan kepada publik.
The End.